Mukadimah

Ini adalah kamar pribadi, tempat bergumulnya kegelisahan, cinta, tanya, ketegaran, kesunyian, harapan, pencarian, dan impian. Pergumulan yang mendekap kata-kata dalam narasi. Menjadi cerpen (mungkin). Kamar ini adalah kamar pribadi, segala isinya adalah milik sang pemilik. Mintalah izin dan kita pun dapat berbagi.

Salam,

Risza Setiawan

playlist


27 August 2008

Wajah


NIRINA

Malam makin rapuh ketika sayapnya pelan-pelan ditikam tangan-tangan surya yang mulai terbangun setelah tidur lelapnya. Begitu perlahan, pelan-pelan membuka mata dengan ketenangan berjuta kekhusukan. Sementara aku masih saja terpaku di sudut taman-taman kota yang tiap jengkal permukaannya masih lindap oleh kerinduan embun-embun yang lelah setelah semalaman bercinta dengan rumput-rumput, bercinta dengan daun-daun, ranting-ranting, pagar-pagar, tembok-tembok dan semua yang mengalami malam dan menyerahkan diri dalam dekapannya yang kelam.

Seperti surya yang mulai tengadah akupun mencoba membuka mata. Agak lama tubuhku masih membatu sambil merutuk kenapa malam harus usai, apakah dia lelah? Lelahkah dia terhadap berjuta pengaduan perut-perut yang kosong? Lelahkah dia terhadap berjuta pertengkaran-pertengkaran yang entah? Tapi bukan itu yang menjadi masalah bagiku. Aku sudah terbiasa lelah, lelah seperti malam yang lelah. Tidak tahu kenapa. Yang kupahami hanyalah bahwa usainya malam akan mengantarkanku pada penyaliban yang berikutnya. Penyaliban yang datang dari hadirnya wajah-wajahmu dari tiap wajah yang lintas di sekitarku. Wajahmu membayang di barisan perempuan-perempuan berstelan rapi yang berjalan begitu gegas. Membayang di wajah anak-anak sekolah yang sebagian berlari dan sebagian mengayuh sepeda. Membayang pada wajah tukang sayur keliling, di wajah polisi di tengah jalan, di wajah kondektur yang menekan pijakan gas seperti menekan perutnya sendiri, dan membayang di wajah seluruh manusia yang merasa masih punya wajah. Bukan hanya itu, aku juga melihat bayangan wajahmu di kaca-kaca jendela, di etalase-etalase toko, di kolam-kolam, bahkan juga di permukaan kukuku yang basah masih kulihat wajahmu dengan senyummu yang tak pernah bisa aku lupa. Entah mengapa, melupakan sesuatu yang pernah bagitu dekat ternyata jauh lebih sulit ketimbang ketika mencoba mengingatnya untuk pertama kali.

Wajahmu masih berlompatan dari wajah ke wajah, dari jendela ke jendela, dari bus ke bus, dari pohon ke pohon, bahkan berlompatan dari tiap-tiap suara yang sampai ke gendang telinga. Begitu sulit, begitu kekal menyiksa hingga dalam setiap gerakan kurasakan nyerinya.

Pagi ini masih pagi yang itu juga, kususuri tepian kolam di taman itu. Lantas berjongkok menyerahkan kepenatan. Membasuh tangan, membasuh wajah, namun tak pernah bisa kubasuh kenanganku padamu. Begitu lekat. Begitu sulit untuk enyah. Mungkin untuk mengenyahkannya harus pula kuenyahkan hatiku. Tapi bagaimana mungkin aku hidup tanpa adanya hati? Bukankah manusia memerlukan hati untuk hidup? Dan seingatku aku adalah manusia. Itu artinya aku membutuhkan hati untuk tetap hidup. Tapi benarkah aku masih memiliki keinginan untuk hidup? Masihkah aku ingin hidup setelah keberadaanmu menjelma jadi kenangan-kenangan yang tak pernah bisa aku lupa? Menyiksaku, menyalibku berabad-abad sepanjang perjalanan surya lewat hadirnya wajah-wajahmu. Membuatku harus berlari-lari kian kemari untuk menghindari wajahmu. Berlari dari sudut jalan ke sudut jalan yang lain, dari taman ke taman, dari kantor ke kantor, dari bus ke bus, dari desa ke desa, dari kota ke kota, dari negara yang satu ke negara yang lain, bahkan dari planet ke planet, dari satu dimensi ke dimensi yang lain. Hingga aku lelah. Aku menyerah dan terbiasa dengannya. Terbiasa menerima suratan takdir. Dan terbiasa pula menerima segala siksaan dari hadirnya wajahmu. Kuterima satu demi satu dengan seluruh kerelaan yang tersisa padaku. Nyeri demi nyeri kuhayati dan kudalami sambil berharap malam akan segera tiba dan embun segera jatuh untuk sekedar membasahi luka-lukaku dan membawa kesadaranku agar mempertemukan aku dengan kematian, karena mungkin hanya dengan kematianlah bisa kuhindari hadirnya wajahmu.

Namun seperti kukatakan, pagi ini masih pagi yang itu juga. Aku masih hidup. Itu artinya aku masih harus bersiap kembali menerima penyaliban darimu. Pada satu titik kulihat wajahmu kian jelas. Kali ini bukan hanya wajahmu, tapi bisa kulihat jelas seluruh tubuhmu. Putih, ramping, tinggi dengan rambut tergerai dibalut pakaian terusan berwarna putih bergaris-garis coklat berlengan pendek dengan ukuran rok yang sedikit di atas lutut. Begitu elegan. Ya, itu adalah dirimu. Tak mungkin aku salah, karena berabad-abad yang lalu pernah bertahun-tahun aku begitu memahami tiap gesturnya sambil kupeluk dan menyampaikan tiap jengkal kasih sayang lewat bibirmu yang begitu halus.

Dengan perlahan kau berjalan mendekat, gaya berjalanmu pun masih seperti yang dulu. Setelah kita berdiri berhadap-hadapan kau pegang tanganku seperti yang dulu kerap kau lakukan. Tak hanya itu, kau peluk aku begitu erat seolah ingin mengalirkan ke tubuhku beban kerinduan yang berabad-abad kau pendam dalam tubuh rampingmu. Kau daratkan kecupan itu di pipiku. Bisa kurasakan tiap desah nafasmu yang halus di kulit wajahku. Lantas kau berbisik pelan padaku, “Pergilah kekasihku”.

Tiba-tiba kulihat sayap-sayap putih di bahumu dan kurasakan tubuhku melayang, menjadi begitu ringan, bahkan terurai seperti butiran-butiran debu dalam pelukanmu. Kian terurai bahkan tak mampu kurasakan lagi tubuhku. Namun bisa kurasakan ketenangan yang telah berabad-abad tak pernah lagi kurasakan sejak wajah-wajahmu mengejar-ngejarku. Begitu tenang, begitu syahdu. Sebelum seluruh tubuhku terurai, aku berbisik begitu tenang padamu dengan seluruh kerinduan dan kenanganku padamu, “Ya, aku pergi kekasihku”.

Lantas semua berpendar, memutih seputih-putihnya.


No comments: