Mukadimah

Ini adalah kamar pribadi, tempat bergumulnya kegelisahan, cinta, tanya, ketegaran, kesunyian, harapan, pencarian, dan impian. Pergumulan yang mendekap kata-kata dalam narasi. Menjadi cerpen (mungkin). Kamar ini adalah kamar pribadi, segala isinya adalah milik sang pemilik. Mintalah izin dan kita pun dapat berbagi.

Salam,

Risza Setiawan

playlist


28 August 2008

Malam Sebelum Kiamat


MALAM SEBELUM KIAMAT

Malam masih menggantung dengan lekukannya yang seperti kubah raksasa. Kegelapannya menciptakan perbatasan abadi bagi jangkauan mata. Tak tertembus. Di tengahnya bulan sendiri, terasing dari koloni bintang-bintang yang asik berkelap-kelip, memperbincangkan sesuatu yang entah. Terkadang sesuatu yang pijar membentuk garis sekilas, menandakan telah berakhirnya kehidupan sebuah benda di angkasa. Seperti perjalanan sebuah ritual pengakhiran. Hanya sekilas, namun terasa cukup indah.

Sudah 1000 kali putaran jarum jam hal seperti ini berlangsung. Tanpa henti. Waktu seakan mati. Matahari seakan lenyap dari peradaban. Tak ada lagi pagi. Orang-orang pun seakan telah lupa jika memang pernah ada pagi. Waktu berhenti.

Di bawah jajaran pohon cemara yang ujung-ujungnya meruncing seperti tombak, mencoba tembusi langit gelap, sepasang sosok manusia duduk terpekur menatapi bulan yang sendiri.

“Adam, adakah itu bulan yang kemarin?”

“Maafkan aku Hawa, aku lupa jika kemarin aku pernah melihat malam.”

“Begitu panjangnyakah malam ini hingga kau lupa pada waktu?”

“Entahlah, aku tak lagi peduli pada waktu.”

Wanita yang bernama Hawa itu menatap dalam pada sosok laki-laki yang dipanggilnya dengan sebutan Adam. Ia menatap dalam-dalam seperti ingin menembus gelap yang panjang. Memisahkan pandangannya dari wajah laki-laki yang ingin ditatapnya. Di dalam hati ia mencoba mengerti apa yang dikatakan laki-laki itu. Ia sendiri juga mulai tak peduli pada waktu.

“Mengapa malam belum berakhir?”

“Bulan masih sendiri.”

“Aku tak mengerti.”

“Aku tak ingin malam ini berakhir.”

“Mengapa?”

“Mungkin ini adalah malam yang terakhir.”

“Artinya dunia akan kiamat?”

“Mungkin saja. Kitab-kitab yang kubaca mengatakan hal itu.”

“Mengatakan apa?”

“Malam yang panjang, waktu yang berhenti akan mengantarkan kita pada kiamat.”

“Mengapa harus ada kiamat?”

“Pertanyaanmu seperti pertanyaan murid sekolah dasar yang tak paham ketika tanda titik harus dituliskan di akhir kalimat.”

“Aku belum memahaminya.”

“Setiap ada awal pasti ada akhir.”

Laki-laki itu tersenyum. Hawa mencoba memahami apa yang tak dipahaminya. Angin malam melintas di antara mereka. Membawa bisikan yang terlalu halus untuk di dengarkan. Sehelai daun cemara yang seperti jarum jatuh dan tersangkut di geraian rambut Hawa. Adam melihatnya. Dengan jari-jarinya yang laki-laki ia ambil daun itu. Sehelai daun itu memberikan alasan yang cukup bagus baginya untuk membelai rambut Hawa. Dengan lembut ia bawa kepala Hawa ke pundaknya. Ia daratkan kecupan yang dalam di kepala Hawa seperti ingin memindahkan segenap rasa yang menumpuk di dadanya. Sebuah kecupan di bawah bulan yang sendiri. Waktu berhenti. Angin malam melintas di antara mereka. Mencoba menyampaikan pesan lewat bisikan yang terlalu halus untuk didengarkan. Di kejauhan suara tiktok jarum jam masih berputar. Tapi waktu masih berhenti.

Mungkin di malam yang terlalu panjang seperti itu tak ada lagi orang yang ingat tentang berita koran pagi yang terakhir kali terbit 1000 kali putaran jarum jam yang lalu. Mungkin tak ada lagi yang ingat ketika ilmuwan-ilmuwan NASA mengabarkan kepada dunia bahwa pada satu waktu bumi akan berhenti berputar pada porosnya. Mungkin tak ada lagi yang ingat ketika sebuah bangsa yang kaya raya tiba-tiba tak punya apa-apa, tak pernah tahu dan tak pernah ingin tahu penyebab dan jalan keluarnya. Mungkin tak pernah ada yang ingat ketika banyak orang yang mencuri dengan perasaan bangga yang membuncah. Mungkin tak ada yang ingat ketika tangan-tangan kurus bocah-bocah yang berkeliaran di jalan menjulur dengan tatapan yang memandang hampa. Sementara orang-orang memandang curiga atau malah memalingkan wajah pada gedung-gedung tinggi yang seolah-olah tak pernah berhenti untuk terus ditambah ketinggiannya. Terus dan terus berdiri dengan pongah. Semakin jauh dari keberadaan tanah yang menjaga pondasinya. Mungkin pula orang-orang tak mau ingat ketika hutan-hutan dilucuti hijaunya, dibongkar rimbanya, pohon-pohonnya diganti dengan beton-beton keras, bukit dan lembahnya diratakan dan memunculkan kenampakan geografi yang membosankan. Berdiri jalan-jalan layang, plaza-plaza, pabrik-pabrik, apartemen-apartemen, bus way dan sebagainya. Nyanyian rimba hanya tinggal sebuah dongengan yang diceritakan sebelum tidur. Itu pun hanya ketika para orang tua bermurah hati untuk mengantarkan anak-anaknya tidur. Mungkin juga tak ada yang ingat tentang para pelajar yang meninggalkan buku-buku pelajarannya. Menggantinya dengan majalah-majalah yang miskin ide dan muatan-muatan ilmu pengetahuan. Bahkan mungkin tak ada yang ingat tentang bapak-bapak yang sudah 1000 kali putaran jarum jam tidak berangkat bekerja, tentang ibu-ibu yang sudah 1000 kali putaran jarum jam tidak menjemur pakaian, tentang anak-anak sekolah yang sudah 1000 kali putaran jarum jam tidak berangkat ke sekolah dan menimba pelajaran, tentang muazin yang sudah 1000 kali putaran jarum jam bingung dalam menentukan masuknya waktu azan. Malam terlalu panjang, 1000 kali putaran jarum jam dan tetap malam. Bahkan orang-orang sudah mulai lupa tentang malam terakhir sebelum datangnya malam yang tak kunjung berakhir.

Sepasang sosok manusia masih duduk terpekur memandang bulan yang sendiri. Adam dan Hawa terpesona pada bulan yang mati. Sendiri dan terpasung pada waktu yang berhenti.

“Aku khawatir pada pagi yang akan memberikan akhir pada malam yang tak kunjung berakhir.”

“Adam, adakah malam akan berakhir?”

“Semua yang berawal pasti akan berakhir.”

“Kapan?”

“Aku juga tak tahu.Kita sudah memulainya. Cepat atau lambat kita juga akan mengakhirinya.”

“Seperti ada dan tiada?”

“Ya, seperti kanan dan kiri, depan dan belakang, atas dan bawah, awal dan akhir.”

“Aku belum siap.”

“Aku juga, tapi kita harus siap.”

“Aku belum menikah.”

“Aku mencintaimu.”

“Apakah kau akan menikahiku?”

“Waktu tak mengizinkanku. Genggam saja tanganku.”

“Kenapa tak kau lawan saja jalannya sang waktu?”

Adam hanya diam. Waktu berhenti. Angin terasa mati. Sayup-sayup azan berkumandang. Terdengar sangat jauh. Seperti suara yang datang dari dunia yang jauh. Adam menggenggam tangan Hawa. Bulan masih sendiri. Pelan-pelan, di barat muncul matahari.


No comments: