Mukadimah

Ini adalah kamar pribadi, tempat bergumulnya kegelisahan, cinta, tanya, ketegaran, kesunyian, harapan, pencarian, dan impian. Pergumulan yang mendekap kata-kata dalam narasi. Menjadi cerpen (mungkin). Kamar ini adalah kamar pribadi, segala isinya adalah milik sang pemilik. Mintalah izin dan kita pun dapat berbagi.

Salam,

Risza Setiawan

playlist


23 September 2008

Angin dan Sang Guru


ANGIN DAN SANG GURU

Gunung itu menjulang begitu tinggi hingga puncaknya seperti menembus langit dengan awan-awan yang mengitarinya. Begitu tegar berdiri ia, ungu dengan lerengnya tertutup lapisan-lapisan kabut yang mendekap lembut seperti selimut. Sunyi, hanya suara-suara angin yang berbisik, sesekali lirih binatang-binatang hutan menambah misteri dan membawa suasana ke dunia gaib yang tersembunyi.

Nun di kakinya berdiri sesosok manusia. Wajahnya yang teguh begitu dingin dengan mata yang setajam belati. Sepintas ia seperti manusia biasa berusia dua puluhan. Hanya saja rambutnya yang sudah keperakan tak bisa sembunyikan usia yang sebenarnya. Dari sorot matanya yang setajam belati berlompatan kenangan hidup yang berabad-abad lamanya. Dari peluh yang membasahi tubuh dan wajahnya terlihat perjalanannya yang panjang. Adakah ia datang dari puncak gunung? Dari puncak yang menembus langit?

Angin yang mengalir di sela-sela daun begitu terusik keingintahuannya. Dengan perlahan ia mengitari sosok manusia itu yang masih berdiri menatap tajam pada desa-desa dan kota-kota manusia yang ada di kaki gunung, seperti mencari sesuatu. Angin masih mengitarinya. Mencoba mengambung aroma tubuhnya, meraba-raba kulit tubuhnya, mencari tahu, siapa gerangan sosok manusia laki-laki bersorot mata belati ini? Adakah wajahnya yang teguh dan dingin ini mencari sesuatu?

Sosok manusia laki-laki itu kemudian duduk di atas batu di dekatnya. Membiarkan saja dan tak peduli pada angin yang mengitarinya. Matanya yang belati itu masih menatap tajam ke bawah, menatap tajam pada desa-desa dan kota-kota manusia, seperti mencari sesuatu. Angin masih mengalir dan mengitarinya, mencari tahu. Hingga pada batas kesabaran, sang angin bertanya,

“Siapa gerangan wahai anda saudara?”

Sosok manusia laki-laki itu tak menjawab. Wajahnya yang teguh masih begitu dingin dan beku.

“Adakah kau datang dari puncak gunung?”

Sosok manusia laki-laki itu menghela nafas, begitu dalam. Angin yang begitu penasaran tak berniat menyerah.

“Wahai saudara, aku tak mengerti bahasa mata.”

“Aku tak memintamu untuk mengerti,” sosok manusia laki-laki itu akhirnya bersuara.

“Adakah kau manusia?”

“Aku manusia. Dan akulah sang guru.”

“Benarkah? Siapa muridmu?”

“1.000 manusia.”

“Yang mana?”

“1.000 manusia di antara semua manusia.”

“Siapa saja mereka?”

“Kau tak akan tahu.”

“Di mana muridmu?”

“Akhirat menginginkan mereka.”

“Surga atau neraka.”

“Bukan urusanmu.”

“Kau sedang mencari mereka?”

“Hanya satu.”

“Di mana yang lain?”

“Akhirat menginginkan mereka.”

“Sudah berapa lama kau menjadi guru?”

“Berabad-abad sebelum keingintahuanmu menggangguku.”

“Mengapa kau mencari muridmu?”

“Untuk kubunuh.”

“Mengapa?”

“Melakukan kesalahan.”

“Apa kesalahannya?”

“Kesalahannya adalah melakukan kesalahan.”

“Rumit sekali.”

“Aku tak memintamu untuk mengerti.”

“Sudah berapa murid yang kau bunuh?”

“999.”

“Mengapa?”

“Melakukan kesalahan.”

“Harus dengan membunuh?”

“Melakukan kesalahan bukanlah yang kuajarkan.”

“Mungkin mereka khilaf.”

“Kekhilafan juga kesalahan.”

“Mengapa tak kau maafkan?”

“Hati manusia terlalu rapuh untuk mencerna kesalahan.”


Matahari mulai condong ke barat. Desa-desa dan kota-kota manusia perlahan mulai tertutup kabut. Sosok manusia laki-laki itupun mulai tertutup kabut. Namun angin tak mau menyerah.

“Apa yang kau ajarkan pada muridmu?”

“Semua hal kecuali melakukan kesalahan.”

“Manusia tak sempurna.”

“Aku tahu.”

“Kenapa tak kau maafkan?”

“Melakukan kesalahan bukanlah yang kuajarkan.”

“Keras kepala.”

“Aku tahu.”

“Sudahlah. Kau hanya beralasan saja.”

“Aku tak memintamu untuk mengerti.”

“Aku mengerti.”

“Kau tak mengerti.”

“Kau ingin membunuh muridmu, kan?”

“Bukan urusanmu.”

“Kau tak menerima kesalahan, kan?”

“Bukan urusanmu.”

“Oh, wahai guru. Betapa kejamnya dirimu.”

“Aku tak memintamu untuk mengerti.”

Angin pergi. Malam merambat turun dengan tenangnya. Desa-desa dan kota-kota manusia tak terlihat lagi. Sosok manusia laki-laki bermata belati tak terlihat lagi. Angin pergi.

Ketika malam berlalu, dan ketika matahari cahayanya menyentuh kabut yang mulai terbunuh, sang angin kembali. Dihampirinya sosok manusia bermata belati yang masih berada di tempatnya semula. Menatap tajam pada desa-desa dan kota-kota manusia, mencari sesuatu.

“Belum kau bunuh?”

“Bukan urusanmu.”

“Kapan kau akan membunuh?”

“Kau akan tahu.”

“Mau kubantu?”

“Bantu saja dirimu.”

“Mengapa?”

“Kau akan tahu.”

“Di mana muridmu?”

“Di antara manusia.”

“Yang mana?”

“Kau akan tahu.”

“Manusia bisa salah bisa benar.”

“Salah adalah salah, benar adalah benar.”

“Harus seperti itu?”

“Melakukan kesalahan bukanlah yang kuajarkan.”

“Mengapa selalu seperti itu?”

“Mau jadi muridku?”

“Nanti aku kau bunuh.”

“Berarti kau akan melakukan kesalahan.”

“Kau bisa mengajariku untuk tidak melakukan kesalahan?”

“Kau tak akan mampu.”

“Mengapa?”

“Aku tak mengajar angin.”

“Aku tak mengerti. Mengapa angin tak boleh belajar darimu?”

“Aku tak memintamu untuk mengerti.”

Angin pergi. Begitu kesal berputar-putar keras melabrak daun, melabrak rumput, bertiup kencang ke segala arah. Mendengung-dengung. Menyambar ke semua arah. Melarung desa-desa, melarung kota-kota, hutan-hutan, lembah-lembah, bukit-bukit, dan menerjang ke semua benua dan semua samudra selama berabad-abad lamanya. Setelah lelah ia kembali ke tempat sosok manusia laki-laki bermata belati yang menatap tajam ke desa-desa dan kota-kota manusia, mencari sesuatu.

“Belum kau bunuh?”

“Apa kau sudah lelah?”

“Benarkah kau guru?”

“Aku punya murid.”

“Aku benci padamu.”

“Cintailah kebenaran.”

“Aku bukan mahluk sempurna. Murid-muridmu juga tak sempurna. Kau juga tak sempurna. Semua mahluk tak sempurna. Mengapa tak boleh salah? Mengapa harus selalu benar? Bagaimana kalau aku tak tahu kalau aku salah? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku ingin berbuat benar? Bagaimana kau tahu kalau murid-muridmu juga ingin berbuat benar dan tak ingin berbuat salah? Mungkin saja dengan berbuat salah akan membawa kita pada kebenaran. Mungkin saja kebenaran didapat setelah melakukan kesalahan-kesalahan. Tak ada yang sempurna.”

Angin pergi. Amarahnya melontarkannya jadi serpihan-serpihan yang menyebar ke segala arah.

Sosok manusia laki-laki bermata belati itu masih diam. Berabad-abad sudah ia seperti itu. Diam dan terus mencari. 999 murid telah dibunuhnya. Ia akan menggenapinya setelah membunuh yang keseribu. Matanya yang belati menyorot tajam. Ia temukan apa yang telah berabad-abad dicarinya. Dengan gegas ia bangkit berdiri. Dihimpunnya seluruh kekuatan alam dalam tubuhnya. Menciptakan beliung yang berpusat di dadanya. Jubahnya berkibar-kibar. Ia rasakan desiran lembut angin di tengkuknya. Ditatapnya langit yang tinggi dan biru.

“Adakah kesempurnaan adalah bersandingnya kebenaran dan kesalahan?”

Jubahnya masih berkibar-kibar. Matanya yang belati menatap lurus, lurus ke puncak gunung.